Perempuan dan Nihilisme: “Women Don’t Know The Way Home”

Avatar

​​Oleh: Rahmat Ariandi ​(​Kader IMM Kota Makassar dan founding Cendekia Alam dan lensa literasi) 

PEDULIRAKYAT.CO.ID — ​”Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam”
​( R.A Kartini 21 april 1879 )

​Banyak pegiat literasi feminisme saat ini sering Menggugat culture patriarki dan hal ini tentu cenderung kita temukan Dalam diskursus keperempuanan. Bahkan, tak jarang kita jumpai sebuah narasi politis yang mengatakan “ perempuan adalah mercusuar peradaban”. Dari pernyataan ini, tentu menarik untuk kita telaah bersama apakah betul demikian ? apakah fakta empiris dalam hirarki sejarah seperti itu? Dan bagaimana dengan kondisi realitas saat ini ?

​Mengawali tulisan ini, kita di peringatkan dengan sebuah kritik tokoh feminis abad 20 Simone de Beauvoir filsuf perempuan dan tokoh feminisme Prancis dalam bukunya Le Deuxième Sexe atau The Second Sex (1949) yang pernah melontarkan protes kerasnya perihal perlakuan terhadap perempuan di tengah masyarakat Eropa dengan kalimat: “One who is not born is the Other, but woman.”. yang tdk paham bahasa inggris, silahkan di translete!! Ya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Itu artinya, perempuan tertindas dan terpenjara sekaligus terdepak dari kesetaraan. Perempuan adalah sang “liyan” yang tidak hanya berbeda, tetapi juga sengaja dibeda-bedakan secara diskriminatif oleh lelaki, baik lelaki secara personal, maupun lelaki dalam bentuk sistem dan nilai.

​Perempuan dalam bukunya The Second Sex dikatakan pula seolah tak punya “kehadiran”, sebab yang memberi “makna” adalah lelaki. Ia tak punya kebebasan, kesetaraan dan keluhuran martabat sebagai manusia. Seonggok tubuh perempuan tak lain adalah obyek pelampiasan nafsu, kekesalan, kekecewaan, dan kekejian maskulinistik yang jumawa. Bahkan tak jarang dalam beberapa literatur sejarah tentang pandangan para filsufpun seolah-olah perempuan miskin akan nilai, heheh !! coba kita telisik pendapat beberapa pandangan filsuf kali ini.

​Aristoteles; Dalam mukadimah Metafisika-nya, Aristoteles menyebut bahwa kecenderungan alami manusia adalah ingin mengetahui. Dan frase ini, ironisnya, tidak mencakup perempuan, sebab tugas mereka hanya melahirkan, tidak lebih!! Itu artinya, perempuan tak layak mendapatkan pendidikan sebagimana lelaki, bahwa melahirkan adalah tugas mulia seorang perempuan, hal ini sudah sangat fitrah dan alami, tapi hak sebagai warga negara acapkali terabaikan. Miris memang makhluk ini !!

​Siapa lagi? Hegel. Ia malah secara angkuh dan jumawa mengatakan bahwa tidak ada rasionalitas dalam diri perempuan. Filsafat transendental Hegel yang tidak membumi ini kelak dikritik secara tajam oleh muridnya, Kierkegaard, lantaran sang guru telah menafikan eksistensi manusia dalam sejarah! Bahkan dalam tutur budaya Jawa pun, perempuan itu hanya 3-M, yakni: Masak, Macak (bersolek) dan Manak (melahirkan). Juga ujar-ujar lama yang masih sayup-sayup terdengar dari alam bawah sadar bahwa perempuan itu hanya di kasur, di sumur, di dapur dan lalu di kubur.

​Tentu dari hirarki sejarah tersebut, menunjukkan sebuah gejala sosial yang begitu kolot saat ini. Di mana perempuan seolah-olah terjebak dalam sikap yang kaku dan tidak memiliki tujuan hidup yang jelas akibat peristiwa sejarah yang memojokkan perempuan. Kalau kita ingin mengadopsi pikirannya Nietzsche tentang “Nihilisme”.

​Perempuan seolah-olah bersikap nihilisme dan tidak lagi memiliki tujuan hidup yang jelas, miskin akan relasi sosial akibat terjebak dalam ranah domestik, dan juga miskin akan optimisme. Yang menjadi sebuah pertanyaan dasar adalah apakah dengan sikap nihilisme nya perempuan tidak memiliki pegangan hidup dalam hal ini agama misalnya ?. tentu, ini juga menarik untuk kita telaah lebih dalam. Bahkan fakta realitasnya, perempuan yang cenderung agamais pun, terkadang kaku dalam menerjemahkan teks-teks agama (harfiah). Ini mengakibatkan laku keberagamaan perempuaan cenderung monolitik, sehingga tak mampu menerjemahkan dan mengekplorasi potensi nya dalam semesta realitas sosial.

​Bagaimana dengan realitas sosial saat ini ??. Andaikan R.A Kartini, khadijah, bahkan sosok Aisyah ( yang lagunya saat ini banyak digandrungi bagi para remaja ) itu kembali hidup, mereka akan sesak melihat perilaku beberapa perempuan yang seolah tidak menunjukkan dirinya sebagai “mercusuar peradaban” seperti kalimat pembuka tulisan saya di awal. Apa fakta empirisnya? Saat ini, mereka mengaku dirinya perempuan tapi terjebak dalam konteks virtualistik yang mereduksi nilai suci dan keluhuran perempuan akibat beberapa konten dan vitur aplikasi yang jumawa dan jauh dari substansi kegunaannya. Padahal, R.A Kartini yang merupakan sosok perempuan pribumi yang telah menjadi sosok insprasi dan idola bagi pegiat literasi feminis seakan-akan ingin menyampaikan pesan kepada kita semua bahwa perempuan kini “Tak tau jalan pulang”.

​Dia telah buta akan fakta sejarah ! padahal, dibalik kejumudan sejarah tentang perempuan banyak kisah heroik yang membuktikan bahwa keberadaan perempuan telah mampu mengubah peta politik suatu bangsa dan bahkan tak jarang kita juga menemukan perempuan menjadi pilar intelek di setiap lorong –lorong suatu bangsa. Kemudian, dalam Islam pun Al-Quran memberi contoh sosok Siti Asiyah binti Mahazim, istri Fir`aun. Meski hidup dalam keadaan terjepit antara suaminya dan iman, namun ia bisa keluar dari lubang jarum lewat perjuangan mempertahankan iman. Ia relakan nyawa menjadi pengorbanan asal iman tetap tertancap dalam dada ( Q.s : At-tahrim:11).

​​Dalam bukunya R.A Kartini “habis gelap terbitlah terang”, banyak kita temukan narasi serta pesan moral bagi perempuan bahwasanya Kartini seakan ingin memberitahu pada generasi setelah dirinya bahwa perubahan merupakan hal yang pasti sebab tidak ada sesuatu yang tetap selamanya, tidak perlu khawatir karena habis gelap terbitlah terang, habis kesulitan pasti ada kemudahan. Seyogyanya, ini bisa jadi pegangan dan spirit bagi kaum feminis saat ini, agar tidak terlalu jumud dan kolot dalam menerjemahkan entitas dirinya sebagai makhluk mulia.

​Tulisan ini pun bukan bermaksud ingin menjadi pakar atau pemerhati perempuan sebagaimana tafsiran khalayak luas, karena kesadaran akan literasi dan kesadaran akan tanggung jawab kemanusiaan lah tulisan ini bisa menunjukkan sebagian kecil keresahan, keprihatinan, dan kekaguman kepada makhluk yang satu ini. Ketika ada kesamaan narasi, kesamaan tokoh, maka perjuangan kita sama !!​

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *