Menimbang Hukum Alam: Rekonstruksi Hukum Perang dan Keadaban Manusia

Avatar
Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Universitas Al Azhar Indonesia)

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja (Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia)

PEDULIRAKYAT.CO.ID — Hukum alam menjadi salah satu mazhab hukum tertua yang berkembang di dunia. Hukum alam mempertanyakan hakikat hukum: apa itu hukum, dan bagaimana kerja hukum? Dalam konsep yang dikembangkan oleh hukum alam, manusia selaku subjek tidak bertindak untuk merekayasa alam atas kehendakanya. Alam memiliki keteraturan normatifnya sendiri, dan manusia sejatinya mengikuti apa yang telah ditentukan oleh alam pada dirinya.

Hukum Alam mencoba memberikan pemahaman bahwa alam bekerja dengan mekanismenya sendiri. Keteraturan dibentuk oleh alam sebagai sebuah metode untuk mengendalikan dirinya sendiri. Eksistensi manusia menurutnya adalah ketertundukan dan kepatuhan dalam sistem kerja alam semesta. Jikapun ada kehendak manusia, maka kehendak itu selaras dengan kerja alam, dan tidak bertentangan dengannya. Hukum-hukum positif yang dikembangkan oleh manusia adalah integral dari hukum alam. Keteraturan alam menjadi hukum yang dipatuhi dan diajarkan kepada pembelajar hukum sejak era Yunani Kuno, dan Romawi.

Munculnya pemahaman akan eksistensi Tuhan mewarnai ide pembaruan gagasan hukum alam. Pengakuan atas eksistensi Tuhan melalui hadirnya agama meletakkan sebuah gagasan baru bahwa Dia Tuhan adalah eksistensi pengendali alam. Tuhan berada dibalik sistem kerja alam ini semua. Mekanisme kerja dan dinamika gerak alam tidak lain hanyalah kehendak Tuhan. Dia dimaknai ada dan menjadi Pengada dan Pengendali atas alam. Hukum yang muncul tidak lain adalah eksistensi hukum Tuhan atas segenap makhluk. St. Agustine dan Gratianus membangun sebuah pemahaman atas hadirnya kehendak Tuhan dalam sistem kerja alam semesta. Bahwa sebuah kodrat manusia untuk tunduk pada Tuhan, dan hukum kodrat tidak lain adalah hukum Tuhan itu sendiri.

Gagasan utama hukum alam adalah moralitas manusia dan keadilan. Hukum diadakan adalah membangun sebuah keadilan bagi manusia. Sebuah ruang hidup yang adil dirasakan oleh manusia. Maka hukum tampaknya menjadi sebuah sarana dan alat Tuhan untuk mendistribusikan keadilan bagi manusia. Thomas Aquinas meletakkan hukum alam sebagai hukum yang hakikatnya tak diketahui karena berada dalam kehendak Tuhan (https://www.britannica.com/topic/natural-law).

Hukum alam dalam pandangan Yunani Kuno yang tidak meletakkan Tuhan sebagai penggerak utamanya, mencanangkan konsep kausalitas alam semata. Bahwa alam bergerak atas aturan normatif yang ada pada dirinya sendiri. Dalam hubungan kausalitas (sebab-akibat) dapat dijelaskan bahwa terjadinya sebuah peristiwa tertentu disebabkan oleh peristiwa lainnya yang terjadi sebelumnya. Mendidihnya air adalah karena terbentuknya energi panas sebagai penyebabnya. Pandangan atas kausalitas alam ini ditolak oleh al-Ghazali, menurutnya Tuhan merupakan entitas wujud utama yang menentukan setiap peristiwa dan perbuatan. Pengetahuan yang terbentuk dengan fakta empiris tidaklah bersifat mutlak, karena mukjizat juga berpotensi terjadi dalam sebuah peristiwa (Zarkasyi, 2018).

Tuhan dalam realitas pengetahuan hukum dapat diterima secara rasional. Terbentuknya nilai-nilai serta norma sebagai fundamen terbentuknya norma-norma positif manusia merupakan turunan (integral) dari adanya nilai dan norma Tuhan itu sendiri. Kitab suci sebagai sumber norma utama menurunkan beragam norma manusia. Baik-buruk, salah-benar, diawali oleh munculnya sebuah norma ketuhanan pertama kali sebagai dasar tercitanya norma manusia berikutnya.

Perang & Hukum Alam

Perang dalam peradaban manusia bukan hal baru, dia ada sejak peradaban manusia dimulai. Perang dalam kajian hukum alam menjadi sebuah perilaku yang diperbolehkan jika dijalankan dengan moralitas kemanusiaan. Perang bukan bentuk dari sebuah kebencian sehingga melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Perang yang umum terjadi adalah destruktivitas atas nilai-nilai humanisme. Ia membunuh dan menghancurkan siapapun dan apapun. Inilah perilaku kebiadaban yang terjadi atas nama dehumanisasi.

Perang dijalankan oleh manusia yang bermoral, ia tidak membunuh siapapun dan menghancurkan apapun. Perang dijalankan dengan keadaban dengan menunjung tinggi moralitas manusia. Ia memilih siapa yang dibunuh, bukan siapapun untuk dibunuh. Para pelaku tidak menjalankannya secara membabi-buta dengan menghancurkan bangunan rumah sakit, bangunan ibadah, menyiksa tawanan, membunuh anak kecil, orang tua yang lemah, dan perempuan lemah.

Perang dijalankan oleh sesama pelaku peperangan, kombatan versus kombatan. Perang dijalankan melalui norma-norma manusia beradab. Duniapun sudah memiliki norma yang disepakati melalui Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi acuan dalam peperangan. Konvensi mengatur bagaimana manusia beradab menjalankan sebuah peperangan. Bagaimana manusia memperlakukan manusia lainnya dalam sebuah pertempuran.

Konvensi Jenewa 1949 membatasi kebiadaban sebuah peperangan. Konvensi ini melindungi orang-orang yang tidak terlibat pepeperangan tetapi ia berada di tenga-tengah peperangan, seperti: warga sipil, petugas medis, pekerja bantuan kemanusiaan. Juga mereka yang tidak dapat lagi terlibat dalam peperangan, seperti: tentara yang terluka, yang tertawan, yang sakit, atau yang karam. Norma dalam konvensi ini mengatur siapa yang telah melakukan pelanggaran berat. Mereka yang terlibat dalam pelanggaran berat harus dicari, diadili, atau diekstradiksi apapun kewarganegaraannya (https://www.icrc.org/en/document/geneva-conventions-1949-additional-protocols).

Dalam perspektif hukum alam, sebuah perang adalah menjalankan perilaku dengan menghindari kebiadaban. Bahwa upaya membunuh juga berada dalam optik keadilan dan moralitas manusia. Ia dijalankan dalam konstruksi kemanusiaan dan kebajikan, bukan dengan menghancurkan segenap nilai-nilai kemanusiaan dengan menghadirkan kebiadaban perilaku. Konstruksi perang adalah jalan terakhir ketika semua jalan perbincangan dan diplomasi menemui jalan buntu. Walau perang diperbolehkan tetapi kehancuran yang ditimbulkan dirasakan oleh setiap manusia. Maka nilai moralitas kemanusiaan tetap ditegakkan untuk meminimalisasi dampak kerugian yang dirasakan.

Menangkap ide Tuhan sebagai entitas penggerak hukum merupakan hal penting yang ada dalam pengetahuan hukum. Bahwa setiap norma yang terbentuk selalu mengacu pada gagasan keadilan dan moralitas manusia. Hukum dijalankan untuk kepentingan manusia, dijalankan oleh manusia yang memiliki integritas moral yang tinggi. Hukum bukan sekedar objek yang terkuantifikasi dalam jumlah banyaknya deretan peraturan perundangan, tetapi juga substansi yang terdalam yaitu moral dan keadilan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *