Tuhan dan Imaji

Avatar
Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Diskursus Ada

PEDULIRAKYAT.CO.ID — Ada adalah segala hal yang tertangkap oleh rabaan pancaindera dan terserap oleh rasionalitas akal manusia. Ada menunjukkan sebuah objek yang eksisten dalam tangkapan indera dan rasio. Ada menunjukkan sebuah kehadiran baik dalam hadirnya wujud kini, wujud lampau, maupun yang akan datang. Kesemua eksistensi wujud menunjukkan bahwa sebuah objek hadir.

Dalam bentuk lain sebagai lawan dari ada adalah tidak ada. Sebuah ketidakhadiran baik tidak hadir dalam bentuk lampau, kini, maupun akan. Tidak ada menunjukkan sebuah kekosongan rabaan inderawi dan akal untuk mampu menangkap eksistensinya. Wujud yang tak teraba dalam indera maupun akal. Ketika akal mampu mencipta objek, maka segala yang difikirkan menjadi ada, apapun itu.

Bayangkan lalu pikirkan sebuah wujud apapun, dan ketika wujud itu muncul dan tercipta dalam benak maka ia menjadi ada. Sebuah wujud yang diadakan dalam akal, diucapkan serta dibahasakan maka ia menjadi eksis dan ada. Walau sebuah kata terlontar dalam ucapan tentang tidak adanya objek, tetapi ia sejatinya telah hadir lebih dulu dalam benak akalnya. Tidak mungkin terucap sebuah kata tanpa memikirkannya lebih dulu.

Sesuatu yang hadir, eksis, dinyatakan sebagai ada tidaklah selalu berwujud dan dapat ditatap oleh pancaindera. Rasa cinta itu ada walau tanpa wujud kebendaan. Ia ada dapat dideteksi oleh rasa dan sistem kerja intuisi manusia. Maka akal menerima bahwa benar cinta itu ada. Sesuatu yang dinyatakan ada tampaknya tidaklah harus hadir mewujudkan dirinya dalam wujud materi.

Tuhan dalam Ada

Adanya sesuatu terlihat ketika ia mampu hadir dalam benak. Problematik atas potensi akal yang membentuk Tuhan ada adalah: apakah Tuhan itu sebagai wujud yang kita ciptakan sendiri dalam akal kita? Jika kita berfikir bahwa Tuhan adalah sebuah konsep yang terbentuk dalam benak akal fikiran kita, maka benar bahwa Tuhan hanyalah sekedar bentuk kerja akal yang menciptakan sosok bernama Tuhan.

Tuhan ada tentunya bukan sebuah konsep yang lahir dari pembentukan kerja akal, tetapi Dia ada karena adaNya. Dia yang ada secara ZatNya dan akal kita membentuk sebuah konsep tentangNya karena panca indera tak mempunyai kemampuan untuk melihat fisik wujud Tuhan. Lalu dari manakah munculnya gagasan tentang Tuhan itu sendiri? Pencarian akan sosok bernama Tuhan sudah dilakukan sejak beribu tahun lamanya. Konsep teologi menjelaskan tentang siapa Tuhan, tetapi karena Dia tak tampak maka akal selalu mencoba menterjemahkan sosokNya.

Tuhan dapat dijelaskan dalam konsep numerologi. Bahwa wujud satu (The One) menjadi unsur utama dari beragam bentuk angka dan keterhubungan. Angka 1 menjadi pembentuk dari beragam angka yang ada. Seribu triliun muncul karena adanya angka 1, tanpa angka 1 maka nol di belakang angka 1 menjadi tak berarti sama sekali. Tuhan sebagai The One menjadi entitas yang utama yang menjadikan segalanya ada (Umar, 2018).

Secara historis terdapat sebuah sistem kerja intuitif manusia bahwa ia memiliki kecenderungan untuk mencari konsep perlindungan diri terhadap mode ancaman yang akan hadir. Bentuk perlindungan diri atas beragam ancaman yang hadir menciptakan sebuah sistem kewaspadaan. Tuhan secara logis disebut sebagai entitas Zat yang tak terbandingkan dengan selainNya. Manusia membutuhkan sebuah bentuk perlindungan yang tak terbandingkan dengan apapun. Maka secara logis manusia mencoba untuk mencari Tuhan, sebuah entitas yang tak terbandingkan.

Tuhan adalah sebuah objek tak terbandingkan yang menjadi sarana berlindung manusia. Maka secara historis konsep tentang ada Tuhan muncul sejak peradaban manusia sendiri itu ada, dan manusia terus berupaya menemukan sosokNya yang paling ideal, dari benda alam hingga kekuatan yang tak kasat mata. Tuhan ada tetapi Dia yang tetap tak terjamah pancaindera.

Konsep tentang ada Tuhan juga membutuhkan realitas kerja intuisi dengan mencoba menguak dan menyelami konsep-konsep dalam tradisi teologi agama. Di dalamnya terdapat sumber yang sangat penting tentang eksistensi Tuhan. Jawaban epistemologi manusia dikuatkan oleh hadirnya konsep teologi. Jika kemudian kebenaran teologi dengan menghadirkan kitab suci dipertanyakan dan ia (al-Qur’an) dinyatakan sebagai hasil produksi akal, tentunya dia tidak akan mampu bertahan dengan kebenaran yang dibawanya selama hampir 1500 tahun. Konsep Teologi dijelaskan dalam gerak nalar epistemologi pengetahuan.

Walau Tuhan secara terdeskripsikan dalam nalar teologi, tidak bermakna bahwa epistemologi pengetahuan manusia menolaknya karena kitab suci juga menjadi rujukan pencarian kebenaran manusia. Secara epistemologis kitab suci Al-Qur’an juga menghadirkan tantangan intelektual atas kerja akal manusia untuk membuktikan ada Tuhan. Wujud Tuhan yang tak teraba indera, dihadirkan dalam bentuk eksistensi penciptaan benda-benda alam semesta sebagai fenomen hadirnya Tuhan. Rangsangan yang sangat menantang kerja nalar intelektual manusia untuk membuktikan ada Tuhan.

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad), maka sesungguhnya aku dekat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 186).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *