Menjemput Dija

Avatar
Muh. Nursal NS

Oleh: Muh. Nursal NS (Sahabat Kandung Fajlurrahman Jurdi)

PEDULIRAKYAT.CO.ID — ​Setelah melahirkan, Dija bertahan di ruang ICU, dokter berhasil mengeluarkan bayi. Ia sempat melihatnya. Perempuan. Namun tetiba ‘koma’ menyerangnya. Ia tak sadarkan diri.

​Pembesuk di luar. Hanya dokter yang boleh dalam ruangan. Tapi ia masih terlihat. Dindingnya transparan. Terbuat dari kaca.

​Dari sudut pembatas itulah, Fajlu berdiri menerawang istrinya.

​Matanya berkaca-kaca. Memandang orang yang dicintainya di pembaringan ICU. Hidung dan mulutnya dibantu oleh selang. Untuk bernapas.

​Kelopaknya menggenang. Tak mampu lagi menampung debit air mata. Dan akhirnya tumpah jua, menghangatkan belahan pipinya.

​Pikirannya membatin: “Apa yang kau rasakan Ummi? Sakitkah?”

​Barang tentu tak ada jawaban.

​Tapi Fajlu terus mengajaknya berdialog. Lewat batin.

​Dari dalam ICU, terlihat lelehan air di pelupuk matanya. Juga tarikan uratnya yang membahu menahan sakit luka sayatan.

​Seolah ingin menjawab pertanyaan Fajlu.

​“Perih Abi. Tapi engkau tak usah gusar. Tadi malaikat membisikku, jika hari ini benar- benar aku dipanggil-Nya, Dia sudah menyiapkan tempat yang nyaman untukku. Firdaus atau Adn namanya. Tersamar ku mendengarnya”.

​Wanita memang dijanji. Kehamilannya adalah jihad. Jika ia ikhlas, mendapat predikat mujahid. Kalau ia harus mempersembahkan nyawanya saat melahirkan, syahid ganjarannya.

​Di waktu yang sama. Aileen, bayi perempuannya, masih berjuang melawan penatnya inkubator. Ia harus beradaptasi. Setelah 8 bulan, begitu nyaman bersandar di dinding rahim ibunya. Empuk dan lembut.

​Fajlu tak menyangka, dua perempuannya akan bertarung menghadapi pre-eclampsia. Hipertensi kehamilan. Pembunuh nomor 2 (dua) bagi ibu hamil. Dia Menyempitkan pembuluh, hingga tekanan darah naik. Lalu mengundang kejang dan koma.

​Adelard & Aileen

Bayi pun diintai maut. Karena kekurangan pasokan oksigen. Pre-eclampsia benar-benar mengincar dua nyawa.

​____________
​Sebelum ke ruang ICU itu, Fajlu dan Dija meng’arung’ rumah tangga.

​Abi dan Ummi. Begitu mereka saling memanggil. Setelah bersepakat menikah.

​Pembagian wewenangnya, begitu radikal. Fajlu mencari nafkah. Dija menjadi ‘ibu’ di rumah tangga.

​“Engkau tak boleh berpeluh, pada hal yang menjadi tanggung jawabku. Cukuplah engkau mendentum doa dari rumah. Kita berdua atau seorang saja bekerja, rezeki tetap sama.” Doktrinnya pada istri.

​Di zaman ini, ada model: suami kerja- istri tidak. Suami-istri kerja. Tapi tidak usah diperdebatkan. Semua punya alasannya.

​Dija? Menjatuhkan pilihan, mendukung kerja suami. Ia melipat karir. Mengubur egonya. Menanggalkan Ijazah dan giuran jiwa aktifis perempuannya. Meneguhkan hatinya menjadi istri dan ibu. Di rumah. All and full time.

​Cita-citanya: menyulap rumah, menjadi tempat terbaik untuk pulang. Ruang melepas penat yang terbawa dari kerja.

​Bukankah senyum-sambut istri mampu melunturkan daki-letih suami? Ditambah hangatnya teh dan pijatan kecil. Ditutup dengan doa: “Insya Allah lelahmu karena Lillah berbuah pahala. Aku mencintaimu.” Big hug.

​Suami akan lupa pernah bekerja seharian.

​Untuk mewujudkan cita-citanya, ilmu masak warisan ibunya, dikembangkan. Dari main course sampai dessert (makanan penutup). Ia tahu betul falsafah perempuan Bugis. Memuaskan perut suami dan sekitarnya.

​Panganannya selalu dirindukan. Mungkin karena “dirempah” doa dan kangen. Ada aroma yang selalu memanggil pulang ke rumah.

​Selain menjadi koki yang hebat, ia juga pendengar baik. Tempat berbagi gunda suami. Sesekali berpendapat, mencerahkan. Berbekal ketua Kohati di kampus dulu.

​Dari tangannya pula, uang berlipat. Syahwat shopping-nya diredam. Mampu membedakan kebutuhan dan bergaya. Belanja seperlunya. Setiap saat, ada saja aset yang bertambah. Tanpa diduga.

​Outfitnya sederhana. Ia lebih memilih mendandani suaminya. Harus tampan maksimal. agar menarik ‘gairah belajar’ mahasiswa. Juga mahasiswinya. Intinya ia milik publik jadi harus best performance. Dia? tugasnya hanya menjadi cantik di rumah. Hanya untuk suami. Begitu pikirnya.

​Dari sisi serangan eksternal. 5 tahun. Ia menjadi perisai. Menangkis serangan ghibah. Juga hujan hujatan. Karena belum berketurunan. Kalau tak sabar, setiap saat makan hati. Berat.

​Maklum ‘daya baper’ ghibah sangat kuat. Itu karena modus operandinya juga canggih. Terstruktur, sistematis dan meluas. Satu lagi, akseleratif. Media daring penyokongnya.

​Aib detik ini, terkoneksi menjangkau mobile phone netizen. Aktual dan tak terkonfirmasi. Sehari saja bisa menusuk-nusuk batin. Perih. Dija? 5 tahun ia bertahan.

​Tak pernah keluhnya ia sampaikan pada orang tua. Aib suami dan rumah tangga terkurung rapat dalam rumah. Baginya, tempat curhat terbaik adalah sajadah dan lekukan dada suami.

​Ia sadar, istri adalah benteng terkuat penjaga aib suami. Ketika roboh, akan memporak-porandaklan rumah tangga.

​Dija mendiamkan lisannya. Menahan laju jemarinya membuat status di media sosial. Yang tak berfaedah. Hal yang sulit dilakukan barisan emak-emak.

​Iya, media sosial mesin penggoda paling dahsyat. Curhat di status berpotensi mengumbar rahasia rumah tangga (aib), foto bergaya, mengundang ‘Ain’. Belanja online mengganggu neraca deposit Keluarga.

​Apalagi Chatting. Kekuatan merusaknya maksimal. Melahirkan banyak varian dosa. Ghibah, gosip, fitnah, juga berpotensi menuju curhat dengan lawan jenis.

​Padahal, tak ada lelaki lain tempat curhat bagi istri, kecuali suami. Orangtua sekalipun. Apalagi hanya kerabat. Pria yang meladeni curhat perempuan bersuami (apalagi menawarkan diri) terkualifisir genit.

​Kalau ada kabar buruk/aib tersiar tentang suaminya, ia jadi pembela pertama. Kepada orangtua dan mertuanya. Juga pada kerabatnya. Ia percaya betul suaminya.

​Memang begitu perempuan. Jika ada satu yang harus ia percaya. Maka suamilah orangnya. Terlepas ia berbohong atau tidak. Untungnya, Dija punya suami yang baik. Setia dan jujur.

​Setelah 6 tahun, ia naik pangkat. Karirnya melejit. Dari istri menjadi ibu. Buah kesabaran. Peluang surganya pun semakin lebar.

​Istri dan ibu. Dua status yang bisa mengalirkan pahala dalam waktu bersamaan. Bukan hanya itu, keduanya dengan mudah menangkap signal ‘Husnul Khatimah’.

​Sebagai ibu, ia meng’injeksi’ dirinya dengan gizi. Menjauhi stres. Demi derasnya ASI. Semampunya, perannya tak diganti oleh susu formula. Meski Tuhan berkehendak lain. Mengapih hanya sejenak. She did her best.

​ASI memang ramuan Tuhan. Kandungannya bukan hanya anti Toxin. Juga mengalir kehangatan, dekapan kasih sayang ibu. Karenanya, ketika bayi menangis, ia seolah berkata: “bawa aku ketempat nyaman itu. Menyusui”.

​Mungkin lantaran Tuhan yang langsung meramunya, di Al-Quran disebutkan kewajiban meng’apih’ bayi. Bahkan lengkap sampai “teknis operasioalnya”. Dua tahun. Al-Baqarah Ayat 233, mengabadikannya.

​Pola asuh ala Dija itu pula, membuat Adelard, putra pertamanya, bertumbuh. segar-bugar dan lincah. Itu karena ia mendaras dirinya, dengan macam-macam asupan bayi. Otodidak. Bayangkan, ia bisa menyiapkan 3 menu berbeda dalam sehari, bagi Adelard dan bapaknya. Dengan kandungan nutrisi yang mumpuni.

​Untuk anak, Dija membangun dirinya sebagai madrasah pertama. Di bawah kendali parentingnya, Adelard mengembang. Menjadi balita yang pintar dan gagah. Berhitung, membaca, berhijaiyya. Pelan-pelan diajarkannya.

​Tak pernah ia ‘menitip’ anaknya pada orang lain. Tumbuh-kembang ‘lelaki’ itu benar-benar dalam buaiannya. Sulit melepasnya. Adelard benar-benar beruntung.

​Yang tak kalah hebatnya. Ia ingin Adelard jadi Hafiz. Padahal umurnya baru 2 tahun. Terbersit doa dalam impiannya itu, semoga hapalan Al-Qurannya, kelak mengumpulkan Abi dan Ummi di surga.

​Bukankah di hari akhir, kedua orangtua penghapal Al-Quran akan diberikan mahkota cahaya? Imbalan baginya, telah menjadi guru hebat di dunia. Begitu Tabrani dan Hakim meriwayatkan hadisnya. Keduanya juga saling menghasankan. Insya Allah Shohih.

​Dija, seorang istri, juga ibu. Ia tiang penyangga yang kokoh. Sekaligus pondasi kuat. Bagi suami dan anaknya. Seperti Sayyidatuna Khadijah.

​____________
​Begitu perjalanannya, sampai kehamilan anak ketiga mengantarnya terpapar di Rumah Sakit. Sebelum dioperasi, Fajlu sempat berpesan pada dokter: “Lakukan yang terbaik dok! Aku mencintainya”.

​Fajlu masih menunggu dari luar ICU. Tak putus pandangannya pada Dija. Kelopak matanya terisi terus. Air mata tanpa isak.

​Beberapa jenak kemudian, ruangan ICU riuh. Fajlu menangkap pandang, bulir-bulir tangis Dija begitu deras. Sepertinya ia menitip pesan melalui air matanya. Pesan yang sangat kuat.

​Andai bulir-bulir itu dipaksa bicara, mungkin ia akan menyampaikan pesan Dija seperti ini:

​“Abi, Mungkin hari ini aku benar-benar dipanggil, jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu. Maaf tak bisa menua dan membersamaimu”,

​“Terima kasih selalu bilang di pagi hari: Ummi adalah hawa paling cantik di dunia padahal saat itu beratku baru saja bertambah 1 kilo”,

​“Di siang hari selalu bilang: Masakanku paling enak padahal hanya sayur bening dan air putih hangat”,

​“Di sore hari selalu bilang: Aku pekerja keras, padahal kaulah yang membantuku cuci piring dan mengangkat jemuran”,

​“Di malam hari selalu bilang: Suaraku paling lembut, nyanyian pengantar tidur terbaik, padahal kaulah yang paling sering meninabobokkanku”,

​“24 jam, sepanjang hari dan malam, engkau membahagiakan”,

​“Terima kasih sudah membuatku menjadi wanita paling sempurna di dunia. Bersamamu, aku bahagia”,

​“Abi, kelak dewasa nanti, katakan pada Adelard, Ummi mencintainya. Aku pernah menemaninya walau sejenak. Lanjutkan hapalannya. Katakan: Mahkota cahaya itu untuk Abi-nya saja. Ummi akan ke surga. Tumbuhlah jadi laki- laki sholeh, bermanfaat dan bertanggung jawab. Seperti leluhurmu dari tanah bugis, Bone. Juga namamu yang bermakna: mulia, berani, Adelard”,

​“Abi, salam cintaku pada Aileen. Ummi belum bisa memberikan apa-apa. Ia juga kepunyaan ibu. Aku tak perlu khawatir ia melupakanku, karena Aileen akan memperingati ulang tahunnya sekaligus hari kepergianku”,

​“Katakan pula padanya: Jadilah ‘Almar,atussholihah’ perhiasan dunia. Karena itu cita-cita paling mulia bagi wanita”,

​“Abi, kalau aku sudah di surga. Aku tetap akan meminta bidadara itu engkau saja, tak usah yang tersedia di surga. Engkau sudah cukup membuatku bahagia. Seperti di dunia. Aku ingin engkau saja. Selamanya”.

​Rupanya, itu tangis terakhir Dija. Jiwa yang tenang itu telah kembali pada Penciptanya.

​Fajlu hanya tercengang. Masih tak percaya.

​Saat-saat itu, ia mungkin merasakan lirik lagu sajang rennu: Eloku sedding mate, na tea lao nyawaku.

​Waktulah yang akan meredam sedihnya. Adelard dan Aileen ikut menjeda duka. Bagaimanapun ia harus tetap melanjutkan sisa hidupnya. Menatap masa depan.

​Sebagai dosen hukum ia tahu betul adigium: Lex Prospicit, Non Respicit, hukum melihat ke depan bukan ke belakang. Dan kehidupan juga harus begitu.

​Kini juga telah terjawab, mengapa wajah Adelard mirip sekali dengan ibunya. Sebab Allah ingin Dija tetap hidup bersama Fajlu.

​Tekad menjadi istri dan ibu seutuhnya, mengantarnya pergi dengan “Husnul Khatimah”. Cara mati yang paling indah. Mudah. Tapi banyak yang tidak mau.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *