Lemahnya Pondasi Spritualitas (Keagamaan) Milenial dalam Memahami Nilai Humanitarian (Kemanusiaan)

Avatar
As'ad Bukhari, S.Sos., M.A.

Oleh: As’ad Bukhari, S.Sos., M.A.(Analis Kajian Islam, Pembangunan dan Kebajikan Publik)

PEDULIRAKYAT.CO.ID — Laporan Ericsson berdasarkan wawancara kepada 4.000 responden yang tersebar di 24 negara dunia. Dari 10 tren tersebut beberapa di antaranya, adalah adanya perhatian khusus terhadap  perilaku generasi millennial. Dalam laporan tersebut Ericsson mencatat, produk teknologi akan mengikuti gaya hidup masyarakat millennial. Sebab, pergeseran perilaku turut berubah beriringan dengan teknologi. Menurut Presiden Director Ericsson Indonesia Thomas Jul, Produk teknologi baru akan muncul sebagai akomodasi perubahan teknologi.

Sepanjang tahun ini, beberapa prediksi yang disampaikan Ericsson berhasil terbukti. Salah satunya, perilaku Streaming Native yang kini kian populer. Jumlah kaum milenial yang mengonsumsi layanan streaming video kian tak terbendung. Ericsson mencatat, hingga 2011 silam hanya ada sekitar tujuh persen remaja berusia 16 – 19 tahun yang menonton video melalui Youtube. Rata-rata mereka menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile sekitar tiga jam sehari. Angka tersebut melambung empat tahun kemudian menjadi 20 persen.

Waktu yang dialokasikan untuk menonton streaming juga meningkat tiga kali lipat. Fakta tersebut membuktikan, perilaku generasi millennial sudah tak bisa dilepaskan dari menonton video secara daring. Teknologi juga membuat para generasi internet tersebut mengandalkan media sosial sebagai tempat mendapatkan informasi. Saat ini, media sosial telah menjadi platform pelaporan dan sumber berita utama bagi masyarakat. Tren tersebut sudah terbukti disepanjang 2016 melalui beberapa peristiwa penting, seperti aksi teror bom. Masyarakat benar-benar mengandalkan media sosial untuk mendapatkan informasi terkini dari sebuah peristiwa.

Generasi sekarang orang yang suka membaca buku sangat turun drastis. Bagi generasi ini, tulisan dinilai sangat memusingkan dan membosankan. Generasi sekarang bisa dibilang lebih menyukai melihat gambar, apalagi jika menarik dan berwarna. Walaupun begitu pada generasi sekarang masih tersisa orang yang hobi untuk membaca buku. Namun, mereka tidak membaca buku dengan membeli di toko buku melainkan dengan cara membaca buku dengan online atau yang kita kenal dengan nama e-bookagar tidak terlalu repot untuk membawa buku kemana-mana. Sekarang ini sudah banyak penjual yang menyediakan dengan format e-book agar pembaca dapat membaca di ponsel pintarnya.

Terlebih lagi perkembangan teknologi yang akan berdampak lebih serius, dimana teknologi akan mempengaruhi generasi muda dan di sekelilingnya. Di banyak kelompok generasi muda, teknologi telah membantu  mempermudah aktivitas. Teknologi, merupakan alat untuk memudahkan generasi muda untuk memproleh keleluasaan dalam berkarya. Bahkan banyak proses teknologi yang menghasilkan produk sampingan terhadap perekonomian masyarakat bahkan kaum remaja juga dapat memperolehnya dengan bijak. Akhir-akhir ini generasi millenial banyak diperbincangkan, mulai dari segi pendidikan, moral & budaya, etika kerja, ketahanan mental dan penggunaan teknologi. Ternyata teknologi tidak hanya selalu berperan positif terhadap generasi millenial. Namun, teknologi juga berdampak negatif terhadap generasi millenial.

Dilihat dari parakteknya, generasi millenial dinilai cenderung cuek pada keadaan sosial. Bahkan, teknologi juga dapat mengubah kebudayaan dengan cepat. Misalnya, pada umumnya manusia itu harus saling berintraksi dan saling membutuhkan satu dengan lainnya. Namun, teknologi mampu mengubahnya dengan cepat. Dengan teknologi, generasi millenial cendreng terhadap individualis yang mengejar pola gaya hidup yang eksis di sosial media. Kehadiran teknologi generasi millennial cendrung meninggalkan nilai-nilai budaya dan agama, mengejar nilai-nilai kebebasan, hedonisme, party dan pergaulan bebas. Ternyata apabila ditelusuri, bahwa generasi millennial tersebut banyak yang berdampak negatif pada dirinya sendiri juga. Dengan gaya hidup teknologi, nilai-nilai yang ditanamkan pada diri seorang anak akan hilang mengikuti arus generasi millennial.

Melakukan pencegahan konflik antar umat beragama mulai dari hal-hal kecil dan bisa dimulai sejak dini, agar  konflik-konflik generasi milenial dan generasi sebelum-sebelumnya yang telah terjadi, tidak membawa kita terhadap perpecahan agama, melainkan menguatkan kita agar hal-hal tersebut tidak terjadi lagi. Maraknya kasus penistaan agama yang terjadi, tapi sebenarnya tidak semua kasus menyangkut konteks menjelekkan sebuah agama, melainkan banyak yang belum bisa mencerna dan memahami secara utuh maksud sebuah kalimat, dan juga belum adanya rasa solidaritas antar umat beragama. Maka sebagai umat beragama yang millennial, kita harus bisa lebih cerdas dalam mencerna sebuah maksud dan tujuan, semua hal harus dikonfirmasi kembali kebenaran dan maksudnya agar tidak tercipta kesalahpahaman antar umat beragama.

Pada 2017, Varkey Foundation melakukan riset pada 20 negara, di mana 93% generasi Z Indonesia (usia 18-21) percaya bahwa komitmen terhadap agama menjadi salah satu faktor penting kebahagiaan bagi mereka. Presentase ini cukup tinggi dibandingkan rata-rata dunia yang hanya sebesar 44%. Berbagai kelompok kajian pun muncul di kota-kota besar, yang kemudian kita kenal dengan semangat untuk berhijrah.
Manifestasi kesadaran tersebut tercermin dalam dua pilar besar, yaitu relasi dengan Tuhan serta relasi dengan manusia. Dari segi pragmatis, relasi dengan Tuhan merupakan praktik ibadah sehari-hari umat Muslim, seperti shalat, puasa, dan perjalanan haji/umroh. Sementara, relasi dengan manusia bisa dilakukan lewat amalan baik yang memberikan manfaat bagi hidup orang lain.

Seseorang yang hidup dengan spiritualitas yang baik didalam dirinya  akan selalu berorientasi untuk menebarkan kebaikan kepada sesama. Menularkan nilai-nilai dan semangat positif kepada sesama. Ia akan melihat segala peristiwa dari sudut pandang yang positif, mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Meskipun sebenarnya peristiwa itu bisa jadi merugikan dirinya. Tentu hal ini pada akhirnya tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain yang ada di sekitarnya.

Di dalam buku The Corporate Mystic yang ditulis oleh Gay Hendricks dan Kate Ludeman, berdasarkan penelitian yang mereka lakukan pada pengusaha dan eksekutif perusahaan sukses di Amerika Serikat, mereka menemukan bahwa pada era modern seperti sekarang ini sifat-sifat para mistikus, sufi, atau orang suci justru banyak ditemukan di korporasi-korporasi besar dunia, bukan di tempat-tempat ibadah seperti kuil, wihara, gereja, ataupun masjid. Para eksekutif perusahaan-perusahaan besar tersebut begitu menjaga etika dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual. Fakta ini menjadi indikasi bahwa dimasa kini dan masa-masa yang akan datang spiritualitas akan menjadi kunci dari capaian keberhasilan seseorang maupun organisasi. Nilai-nilai spiritualitas yang ditanamkan didalam hati akan menjadi pengarah yang luar biasa bagi seseorang agar selalu melakukan hal-hal baik.  Kebohongan adalah hal yang berada jauh dari kamus orang-orang ini. Pribadi yang hidup dengan spiritualitas sejati didalam dirinya akan menentang hoaks didalam setiap sendi kehidupannya. Bahkan dalam bercandanya pun ada nilai-nilai postif yang bisa diambil pelajaran.

Humanitarian di kalangan milenial merupakan nilai kepedulian sosial terhadap manusia dalam membangun harmonisasi kebersamaan. Tentu dengan tujuan untuk meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan dan pemahaman terhadap peran besar pemuda/i dalam aktivitas kemanusiaan sebagai investasi ketangguhan bangsa menghadapi potensi bencana alam dan meningkatkan peran pemuda dalam isu-isu kemanusiaan. Konsep Humanitarian pada milenial tidak akan berusaha menjadi ideologi supremasis yang akan menaklukkan siapa pun, juga tidak datang untuk menghancurkan, dan oleh karenanya mencegah penyalahgunaan agama untuk mempromosikan kebencian, supremasi dan kekerasan sektarian.

Menurut Prof. Stefano T. Tsukamoto, Koordinator Kantor Satelit RESPECT Program Osaka University di UGM, perkembangan dunia yang semakin global membuat tragedi kemanusiaan tidak bisa lagi dianggap sebagai masalah dalam negeri masing-masing negara. Krisis kemanusiaan yang dipicu oleh manusia atau bencana alam telah menunjukkan perlunya solidaritas global dalam rangka menyelesaikan masalah kemanusiaan.
Masyarakat perlu dipersiapkan agar mampu mengantisipasi dan merespon terhadap setiap kejadian bencana. Terutama bagaimana menciptakan sistim komunikasi yang mampu memperkuat masyarakat agar tahan menghadapi bencana. Karenanya informasi yang terkoordinasi menjadi bagian penting dalam upaya mengantisipasi dan merespon kejadian bencana.

Lemahnya pondasi spritualitas yang menjadi ciri-ciri generasi millenial tersebut, maka tantangan terbesar bagi generasi millenial adalah pengaruh dari media sosial itu sendiri. Jangan sampai generasi millenial terpengaruh oleh tren negatif di media sosial.
Maka, generasi millenial perlu dibentengi dengan bekal ilmu agama yang cukup. Dengan cara memperbanyak melakukan aktualisasi diri, kontestasi keilmuan, kompetensi bakat, potensi teknologi, keseimbangan keagamaan, dan tentunya diharapkan menjadi agent of change, milenial yang berwawasan luas dan berkemajuan dalam konteks teknologi serta informasi.

Harapannya ialah agar generasi milenial mampu mengimbangi nilai keagamaan dan nilai kemanusiaan sebagai bentuk pondasi dasar dalam kehidupan. Sekalipun milenial bergelut dengan kemajuan teknologi dan informasi melalui internet, gadget, smartphone, dan aktivitas-aktivitas sosial media mereka baik untuk komersil maupun sebagai hiburan keseharian. Dengan penguatan nilai keagamaan dan kemanusiaan tersebut, milenial menyadari bahwa agama bukan sekedar akses aplikasi sosial media lantas dengan mudah menafsirkan dan menyimpulkan tanpa pengetahuan serta wawasan yang luas dalam keberagamaan. Begitu pula dengan nilai kemanusiaan agar milenial lebih peka dan empati terhadap kondisi sosial sekalipun terlalu asyik dengan aktivitas sosial media yang dianggap sebagai aktivitas sosial di dunia maya yang memberikan pengaruh pada tatanan praktis. Ini yang menajdikan milenial harus mampu betul mendalami, mempelajari, mengkaji, menyaring, dan menelaah keagamaan dan kemanusiaan sekalipun dengan akses sosial media maupun teknologi yang digunakannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *