Calon Kepala Daerah yang Tak Dirindukan

Avatar
Andi Luhur Prianto (Dosen Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar)

Oleh: Andi Luhur Prianto (Dosen Ilmu Pemerintahan Unismuh Makassar)

PEDULIRAKYAT.CO.ID — Kandidasi dimaknai sebagai proses di internal partai politik dalam menyusun dan menetapkan figur kandidat kepala daerah dan kandidat wakil kepala daerah untuk didukung dan di usung pada kontestasi elektoral Pilkada 2020.

Selama ini, begitu banyak pihak yang sinis menilai kualitas ruang elektoral kita, yang belum mampu menyerap orang-orang terbaik untuk tampil dalam kontestasi jabatan-jabatan publik. Kandidat yang potensial sering kekurangan akses, kehabisan energi dan bahkan terpental dari kerasnya gelanggang politik elektoral. Keberadaan sejumlah regulasi, prosedur, dan institusi politik pemilihan justru dirasakan menghambat akses pihak potensial itu. Meskipun tersedia jalur independen untuk Pilkada, tetapi kualitas instusi partai politik masih sangat berperan menentukan- tampil tidaknya kandidat-kandidat terbaik dalam kontestasi Pilkada.

Sebagai pilar utama demokrasi, seringkali partai politik dianggap sebagai “titik lemah” dalam pelembagaan demokrasi elektoral. Hal ini ditunjang fakta, kurang optimalnya partai politik memerankan fungsi-fungsi dasarnya : pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, akomodasi dan agregasi kepentingan, serta rekrutmen politik. Soal rekrutmen politik misalnya, hampir semua partai politik tidak memiliki sistem dan strategi rekrutmen politik yang berkelanjutan. Sehingga, partai tidak memiliki stock (persediaan) kader internal yang kompetitif, untuk ditampilkan pada kontestasi jabatan publik. Situasi inilah yang mengakibatkan partai politik sering memposisikan diri sebagai “kendaraan rental”, yang tersedia bagi para migran dan avonturir politik serta kaum politisi oportunis, di setiap momentum politik – termasuk momentum Pilkada. Situasi ini semakin terlembagakan dalam mekanisme dan prosedur politik elektoral yang high-cost.

Kemerosotan Partai Politik

Era politik ideologis telah berakhir. Ideologi partai hanya penghias dokumen dan pidato pejabat-pejabat partai. Garis demarkasi dan identitas pembeda antara satu partai dengan partai yang lain, semakin tidak jelas batas-batasnya. Gerakan dan aktivitas partai lebih banyak ditentukan oleh kalkulasi materil dibandingkan tujuan normatif sebuah organisasi politik. Akibatnya, proses kandidasi untuk momentum politik seperti Pilkada, lebih dominan diwarnai oleh sikap pragamatis kaum elit. Pragmatisme yang dimaksud, justru menyimpang dari pakem perilaku partai politik yang di kenal dalam literatur ilmu politik, yakni vote-seeking party, office-seeking party, dan policy-seeking party (Strom, 1990). Banyak partai yang memilih kandidat di Pilkada, tidak di dasarkan pada tujuan meraih suara (dukungan) sebanyak-banyaknya, bukan juga untuk merebut kursi jabatan kepala daerah-wakil kepala daerah , serta tidak untuk mengintervensi dan mengendalikan kebijakan publik di daerah.

Dalam proses kandidasi setidaknya terdapat empat masalah pokok yang dihadapi oleh partai-partai politik : pertama, pelembagaan budaya organisasi – secara umum nilai, prosedur dan aturan main, dan juga sanksi dalam partai politik itu “sangat cair”. Hampir semua partai punya Pedoman Organisasi (PO) dan semacamnya, untuk proses kandidasi calon kepala daerah. Begitu juga dengan Tim Penjaringan, Tim Seleksi Calon, Desk Pilkada, dan semacamnya, untuk menjalankan tahapan-tahapan seleksi internal, apakah melalui mekanisme survey, fit and proper test, atatupun mekanisme “lain”. Tetapi yang terjadi adalah partai juga selalu menyediakan keistemewaan untuk short-cut pada figur-figur tertentu, yang pada akhirnya melabrak tatanan nilai dan budaya organisasi, yang dibangunnya sendiri.

Kedua,memelihara soliditas dan integrasi – soliditas kader-kader partai politik di Pilkada 2015 memang menghadapi ujian berat. Terlebih pada partai yang mengalami situasi dualisme kepengurusan. Kepemimpinan di level wilayah (provinsi) dan daerah (kabupaten/kota) juga kurang berperan merangkul perbedaan dan mengeliminasi konflik dan perpecahan internal partai. Banyak pemimpin partai yang menjadi medium konflik. Hasilnya adalah pemecatan dan pergantian pengurus tanpa prosedur demokratis. Dampaknya kemudian membuat kekuatan partai menjadi “pecah tiga” dan kader yang “berhamburan” tentu menyulitkan konsolidasi organisasi.

Ketiga, praktek demokratisasi internal – meski menjadi pilar penting demokrasi, sesungguhnya tata kelola dan pengambilan keputusan partai politik sangat tidak demokratis. Kebanyakan partai politik mengalami proses personalisasi melalui pemimpinnya.Tidak ada federalisasi, delegasi, apalagi otonomi dalam pengambilan keputusan partai politik. Semua masih top-down, keputusan masih di tentukan elit kekuasaan pimpinan pusat partai. Aspirasi arus-bawah sangat sering berlawanan dengan keinginan pimpinan pusat, dan atas nama unity of command harus di eksekusi jajaran pimpinan partai di daerah. Tidak boleh ada resistensi, pilihannya sangat hitam-putih, kerjakan atau tinggalkan sama sekali.

Keempat, kemampuan menang – ini soal kapasitas, sumberdaya, komitmen, confidence, dan juga mental untuk bertarung dan menang. Sangat mengherankan melihat ada partai yang punya kekuatan dominan di parlemen lokal tetapi menyerahkannya “jatah kekuatan” kepada pihak lain. Maksudnya, ada partai yang sangat potensial dan memenuhi syarat untuk mengusung kandidat di Pilkada 2020, tetapi “menyerah” pada figur kandidat dari partai lain. Partai seperti ini belum memiliki mental juara, senang bertahan di zona nyaman sebagai follower. Padahal, sejatinya ide dasar dari politik adalah soal bagaimana kekuasaan direbut, dipertahankan dan dikembangkan.

Politik Begal

Bila mencermati proses-proses kandidasi yang terjadi di Pilkada, sesungguhnya telah terjadi pembegalan politik, dengan vulgar dan kasat mata. Politik begal yang dimaksud adalah perilaku partai politik dan kandidat dalam proses yang penetapan dukungan dan usungan kandidat di Pilkada nanti yang penuh fenomena penghadangan, tarik-menarik, perampasan, dan juga “luka pada korban”. Bagi sebagian kandidat, pertarungan merebut Surat Keputusan (SK) dukungan dan usungan dari pimpinan partai politik di tingkat pusat, bisa jadi menjadi arena kuasa yang sesungguhnya. Keberhasilan dan kegagalan di tahap penentuan usungan partai dianggap sebagai cerminan pada kontestasi yang sesungguhnya.

Demokrasi elektoral (Pilkada) yang berkualitas akan menghasilkan pemerintahan yang efektif. Demokrasi memang harus terus di uji dan disempurnakan. Teoritisi demokrasi terkemuka, Doorenspleet (2012) dan Dahlberg (2013) telah memperingatkan perkembangan demokrasi kontemporer yang ambivalen, sebahagian besar orang tetap menyatakan kesetiaan terhadap demokrasi sebagai cara terbaik untuk mengatur masyarakat, tetapi pada saat yang sama juga mengungkapkan ketidakpuasan dengan kinerja sistem politik elektoral dalam demokrasi.

Dengan mengikuti alur cerita dan pesan film nasional dengan latar poligami, Surga yang Tak Dirindukan, bahwa kebahagiaan (kemenangan) terkadang harus dicapai dengan “menduakan”. Sehingga idea-idea surga dan kebahagiaan (kemenangan) bukanlah hal yang terbaik, justru pahit dan menyakitkan. Demikian pulalah partai politik memperlakukan figur kandidat dalam kandidasi Pilkada ini, sering menelikung, “mendua”, hingga “kawin paksa”. Hingga akhirnya yang diusung bukanlah calon yang dirindukan. Bukan yang sesuai harapan pengurus partai politik di daerah, bukan pula sesuai keinginan rakyat pemilih, dan bahkan bukan yang didambakan oleh paket pasangannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *