Anti Korupsi Dalam Epistimologi Tasawuf

Avatar
Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia) 

Oleh: Dr. Fokky Fuad Wasitaatmadja (Dosen Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia)

Korupsi dan Mentalitas Manusia

PEDULIRAKYAT.CO.ID — Korupsi terambil dari kata corrupt atau corumpere yang bermakna busuk, ketidakjujuran, penyimpangan dari kesucian. Menurut Tansparency International korupsi diartikan Involves behaviour in the part of officials in the public sector, whether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them by the misuse of public power entrusted them. Korupsi meliputi perilaku para pejabat publik yang secara tidak wajar dan melawan hukum telah memperkaya dirinya sendiri, atau orang-orang terdekatnya dengan jalan menyalahgunakan keweangan yang dipercayakan kepadanya.

Korupsi bukanlah sebuah perilaku yang tiba-tiba muncul, melainkan juga tertanam dalam ruang sadar manusia secara turun-temurun dan dianggap sebagai sebuah kelaziman dalam sebuah lingkungan sosio-kultural tertentu. Sebuah kondisi yang berkarakter koruptif dapat membentuk mentalitas korup pada diri manusia. Perilaku yang berkarakter korup ini telah tumbuh sejak dini, bahwa seorang anak melihat dan mempelajari sebuah budaya koruptif yang telah terjadi dan menjadi kelaziman, sehingga dianggap sebagai sebuah kewajaran. Kebusukan yang dianggap sebagai sebuah kewajaran perilaku.

Korupsi tampaknya bukanlah sekedar kejahatan biasa, karena ia dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan kecerdasan tertentu untuk melakukan perbuatan manipulasi demi keuntungan yang akan diperolehnya. Korupsi tidak saja merugikan seseorang, melainkan menghancurkan sebuah kesejahteraan bangsa dan kepentingan rakyat banyak (Bahri: 2015). Para pelaku bukanlah orang biasa, melainkan orang tertentu yang memiliki keahlian dan kemampuan tertentu untuk melakukan tindakan manipulasi atas sebuah sistem pelaporan.

Korupsi sulit dikaitkan dengan permasalahan kemiskinan, melainkan lebih pada sikap mental manusia. Manusia rakus dan tamak yang tidak pernah merasa puas atas apa yang telah ia peroleh, dan terus berupaya menumpuk harta. Rasulullah Saw bersabda “Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga” (HR. Bukhari).

Korupsi menimbulkan sebuah iklim yang tamak, korupsi menumbuhkan sikap individu yang lebih menempatkan kepentingan dirinya sendiri di atas orang lain, dan hanya berfikir semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri (Muhlizi: 2014, 460). Korupsi menjadi sebuah perilaku yang berakar pada sisi mentalitas manusia, korupsi berpusat pada gagasan moralitas manusia. Ia tidak dapat diberantas hanya dengan penegakan hukum yang keras semata tanpa melihat sisi terdalam dari moralitas manusia. Bahwa hukum akan tak berdaya guna ketika sisi moralitas manusia yang menggerakkan hukum dipenuhi oleh semangat dan mentalitas yang koruptif pula.

Hal yang paling menyedihkan adalah munculnya sebuah anggapan bahwa korupsi adalah bagian dari kebudayaan manusia. Dalam cara berfikir seperti ini, maka perbuatan korupsi adalah sebuah kewajaran yang tidak terlepas dari sistem hidup manusia. Jika hal ini adalah sebuah kewajaran, maka kita perlu kembali berfikir lebih dalam lagi akan makna sistem hidup manusia. Bahwa ketika manusia menyatakan kewajaran atas sebuah perilaku yang merugikan banyak manusia, tentunya kita perlu melakukan proses pembudayaan anti korupsi sebagai anti-tesis atas tesis budaya korupsi.

Epistemologi Tasawuf dan Pembudayaan Anti Korupsi

Tasawuf adalah sebuah metode cara untuk membuang ego manusia terdalam. Ia mengenyahkan kehendak ego yang menguasai manusia untuk selalu ingin menguasai dan menundukkan dunia. Tasawuf berupaya untuk mengendalikan dan membentuk akhlak manusia, sehingga tasawuf bukanlah perilaku eksklusif manusia atas lingkungan sosio-kulturalnya. Tasawuf yang lebih pada pembentukan perilaku etik manusia yang mengarah pada pembentukan akhlak melihat bahwa tamak, rakus, dan kecintaan berlebihan terhadap dunia adalah awal kemunculan perilaku koruptif. Tasawuf berupaya untuk menjauhkan dan menjauhkan hingga mengosongkan jiwa manusia atas kecintaan yang berlebih terhadap dunia (Ramli, 2017: 199).

Tasawuf mencoba menggerakkan kembali gerak budi pekerti manusia. Ia mengarahkan manusia pada akhlak yang baik, mengolah ruang batiniyah manusia menjauh dari sifat tamak dan rakus atas dunia dan seisinya. Hukum sebagai sebuah sarana untuk memberantas perilaku koruptif ini, akan menjadi lebih efektif ketika ia digerakkan oleh manusia-manusia yang memiliki moral. Maka pemberantasan korupsi akan menjadi lebih efektif ketika ia digerakkan oleh para penegak hukum yang menjunjung tinggi moralitas dalam hukum.

Tasawuf berupaya untuk mengarahkan manusia pada nilai-nilai ketuhanan, bahwa perilaku manusia bukanlah sebuah perilaku yang bebas dalam ruang geraknya. Bahwa manusia disadarkan kembali adanya sebuah gagasan spiritualisme yang melekat pada jiwa manusia. Sisi ini tak terlepas dari diri manusia, sehingga ia menjadi sarana pengendali atas perilaku manusia.

Dalam hal ini tasawuf diarahkan untuk membudayakan kembali perilaku anti korupsi dalam sebuah komunitas manusia. Bahwa jika difahami bahwa korupsi telah menjadi budaya dalam sebuah kelompok manusia, maka tasawuf berupaya untuk membentuk ulang perilaku etik manusia. Tasawuf menjadi sebuah cara untuk menanamkan dan membudayakan kembali nilai-nilai anti korupsi dengan meletakkannya dalam kesadaran nurani manusia terdalam. Bahwa jiwa manusia yang selalu mengutamakan sisi ego, harus dikendalikan dalam sebuah penanaman kembali jiwa anti korupsi.

Haruslah disadari bahwa segala perilaku dan kehendak manusia haruslah diawali oleh kesadaran hadirnya Allah dalam sisi ruang batin terdalam. Bahwa kesadaran untuk menyertakan Allah dalam sisi batiniyah terdalam memiliki makna bahwa manusia menyadari Allah sebagai yang awal dan yang menjadikan segalanya ada. Pada keadaan ini ia membuang segala selain-Nya. Bahwa dunia adalah selain-Nya, dan bukan Dia. Maka segala kehendak terdalam manusia untuk berbuat adalah karena Dia, dan akan berakhir dan kembali pada-Nya. Bahwa totalitas sistem hidup manusia adalah Allah (Qs.[51]:56).

Pembudayaan kesadaran jiwa spiritual manusia ini menyadarkan manusia, bahwa rasionalitas sebagai satu-satunya senjata utama dalam penegakan hukum perlu dipertanyakan kembali. Bahwa rasionalitas akal harus didampingi pula oleh jiwa spiritualisme manusia. Terdapat kesadaran dalam sisi imateri manusia terdalam yang akan mengarahkan sekaligus mengembalikan manusia pada Allah. Akal yang terselimuti oleh nurani ilahiyah akan terlindungi dari hadirnya ego korupsi yang meluluhlantakkan jiwa manusia. Epistemologi tasawuf ini akan melekat dalam ruang batiniah manusia sebagai pengemban amanah hukum, yang dengan itu ia menyadari bahwa korupsi bukanlah bagian dari diri dan budaya manusia.

Hadits Rasulullah Saw:

“Ketika Aku telah mencintainya, maka aku yang akan menjadi telinganya yang digunakannya untuk mendengar, Aku akan menjadi matanya yang digunakannya untuk melihat, Aku akan menjadi tangannya yang digunakannya untuk memukul, Aku akan menjadi kakinya yang digunakannya untuk berjalan.” (HR. Bukhari).(RedaksiPeduli).

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *