​Pemimpin Perempuan Berbasis Multi Agama

Avatar
Marwah

Oleh: ​Marwah (Dosen Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin)

PEDULIRAKYAT.CO.ID — ​Keberagaman agama di Indonesia memerlukan sosok seorang pemimpin transformatif yang mampu menerapkan konsep fleksibilitas dan pemikiran yang menginspirasi pada semua lini strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu contoh kepemimpinan perempuan berbasis multi agama di Indonesia adalah Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. Pada tahun 2014, Prof. Dr. Dwia Aries Tina dilantik menjadi rektor perempuan pertama di Universitas Hasanuddin dan terpilih untuk memimpin Universitas Hasanuddin selama 2 (dua) periode, yaitu periode 2014-2018 dan periode 2018-2022. Selama hampir dua periode kepemimpinannya, beliau telah berhasil memeroleh banyak prestasi dan penghargaan pada level nasional maupun Internasional.

​Menurut penulis, jabatan rektor tersebut merupakan salah satu contoh kepemimpinan perempuan berbasis multi agama karena universitas merupakan institusi yang bertugas untuk menyelenggarakan pendidikan pada level sarjana, magister, dan doktor. Sebagaimana diketahui bahwa, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa pada sebuah universitas memiliki latar belakang keyakinan yang berbeda-beda sehingga dituntut seorang pemimpin transformatif (leader) yang mampu mengakomadasi kepentingan seluruh civitas akademika.

​Pemimpin transformatif adalah pemimpin yang mampu mengantisipasi, memotivasi, berfikir strategis, dan menerapkan konsep fleksibilitas dalam bekerja untuk memulai dan membawa perubahan demi mewujudkan tujuan suatu organisasi. Pemimpin transformatif harus selalu dapat memberikan arahan dan menebar inspirasi serta membangun sinergisme antar lini untuk dapat menggerakkan sendi-sendi kepemimpinan secara menyeluruh.

​Keberagaman Indonesia tentunya menjadi salah satu faktor penting dibutuhkannya seorang pemimpin yang transformatif demi terjaganya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai refleksi sifat religius bangsa Indonesia yang tidak hanya menghormati agama sebagai kepentingan hukum, tetapi juga nilai, inspirasi dan rasa keagamaan serta ketenteraman hidup beragama. Saling menghormati individu atau kelompok, rasa nyaman bergabung, berinteraksi antar umat beragama, serta antar komunitas budaya merupakan wujud konkrit dari penghayatan bahwa manusia merupakan bagian dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

​​Sebagai negara hukum, Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi setiap individu tanpa membedakan latar belakang suku, ras dan agama. Salah satu hak manusia yang harus diakui dan dilindungi adalah hak kesamaan kedudukan dihadapan hukum. Persamaan kedudukan setiap individu di hadapan hukum diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-IV yang memuat bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam memeroleh kesempatan menjadi seorang pemimpin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

​​Model kepemimpinan yang masih terperangkap dalam streotip kelompok disertai dengan upaya hegemonik yang mengarah dalam satu kesatuan tunggal kekuasaan politik, penyeragaman pola kebijakan tanpa mempertimbangkan kemajemukan menjadi tidak relevan bahkan bertentangan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Arah dan tujuan pembangunan bukan hanya memenuhi janji politik yang tertuang dalam visi dan misi semata, akan tetapi harus dikembalikan pada fungsinya semula yaitu untuk menjunjung tinggi nilai dasar dari kemanusian. Oleh karena itu, pola perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan pembangunan harus memerhatikan dampak kemaslahatan bagi pemenuhan kebutuhan dasar bagi kemanusian.

​​Dalam konteks demokrasi dan pemerintahan mestinya tidak ada perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki karena dalam sistem pemerintahan yang bergerak adalah sebuah sistem, bukan hanya fisik semata. Pemikiran kita harus terbuka dalam memberi ruang berkompetisi yang sama. Walaupun secara fisik laki-laki memang lebih kuat, namun kepemimpinan dalam konteks suatu organisasi bukanlah persoalan fisik semata, melainkan sebuah sistem yang membutuhkan pemikiran cerdas dan sanggup untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang ada.

​Selain itu, pembedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak hanya ditentukan oleh perbedaan biologis atau kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-masing dalam kehidupan sosial budaya. Padahal, beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa perempuan juga mempunyai kelebihan dalam memimpin, antara lain lebih fleksibel dan mudah beradaptasi dengan lingkungannya, mampu menyelesaikan pekerjaan yang sulit, peka terhadap situasi, mampu membuat orang lain nyaman bekerja dengan gaya kepemimpinan yang penuh kasih, fokus dalam segala hal, serta mampu menjadi pemimpin yang bijaksana.

​Oleh karena itu, tugas pemerintah saat ini adalah memberi solusi terhadap berbagai kendala yang dialami perempuan dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan dan mampu menciptakan keadilan dengan memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk tumbuh dan belajar menjadi seorang pemimpin yang tangguh.

​​Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa unsur-unsur mendasar yang diperlukan oleh seorang pemimpin transformatif di era revolusi industri 4.0 saat ini antara lain adalah kemampuan untuk mengarahkan dan memotivasi orang lain dalam suatu organisasi, dan kemampuan untuk membangun kerja sama dalam mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pemimpin transformatif, seorang perempuan harus berlatih untuk mengembangkan dirinya dengan cara meningkatkan keterampilan, kreativitas, kemauan dan keberanian dalam memanfaatkan suatu peluang.
​(Tulisan ini adalah merupakan catatan saat mengikuti training kepemimpinan perempuan berbasis multi keyakinan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *