PSI dan Adab yang Hilang, Apa Salahnya Poligami?

Avatar
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie (kiri) didampingi Sekjen Raja Juli Antoni (tengah), dan Ketua DPP Tsamara Amany (kanan) memberikan keterangan pers terkait sikap partai pada Pemilihan Presiden 2019 di Jakarta, Sabtu (11/8).

Oleh: Ady Amar (Pemerhati Sosial)

PEDULIRAKYAT.CO.ID — Lahirnya partai pendatang baru, apalagi partai yang diisi anak-anak muda milenial, tentu amatlah disambut dengan sukacita. Maka kehadiran Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai partai terbuka, lintas agama, suku, aliran yang bersifat keberagaman, merupakan harapan bangsa ini akan munculnya pikiran-pikiran segar khas anak muda vis a vis dengan keberadaan partai-partai yang diisi kalangan mapan, yang pandangan politiknya menggunakan kalkulasi sempit untuk kekuasaan semata.

Adalah Grace Natalie yang didapuk sebagai ketuanya. Grace adalah mantan pembawa berita sejumlah televisi swasta yang banting setir menjadi politikus. Tapi saya tidak tahu persis apa kehebatan Grace ini, pengalaman politik macam apa sebelumnya yang pernah dimainkannya. Sebagai pekerja media dia tidak tergolong wah untuk ukuran yang ada. Jam terbangnya tidak terlampau panjang.

Pertanyaan muncul, filosofi dasar apa sehingga anak-anak muda ini mendirikan PSI. Lulus verifikasi faktual sebagai peserta Pemilu dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukanlah perkara mudah. Butuh amunisi pembiayaan yang tidak kecil, bisa berpuluh miliar rupiah. Dari mana mereka mampu membiayai ‘kehadiran’ PSI itu? Tentu bukan dihasilkan dari saweran para anggotanya.

Usut punya usut, saya mendapatkan informasi Jeffrie Geovanie ada di belakang anak-anak muda itu. Semua kenal Jeffrie yang sebelumnya sebagai politisi PAN, lalu meloncat ke Golkar dan meloncat lagi ke Nasdem, yang akhirnya mendirikan PSI dan tampil di belakang anak-anak muda itu. Maka Jeffrie dianggap sebagai bandar pendanaan pendirian PSI, dan konon ada taipan lainnya mendampinginya.

Publik sebenarnya tidak terlalu memasalahkan jika di belakang anak-anak muda itu ada politisi senior yang hadir sebagai pembinanya. Kesenioran akan memberi asupan gizi akan nilai-nilai kebaikan pada yang lebih muda yang tentunya miskin pengalaman. Sebaliknya publik akan kecewa jika partai anak-anak muda ini tampil bukan dengan semangat dan pikiran khas anak muda yang idealis.

Di PSI kita akan temui Radja Juli Antoni sebagai Sekjennya. Dia sebelumnya Direktur Eksekutif pada Ma’arif Institute milik Prof Syafi’i Ma’arif. Lalu ada Tsamara Amany, perempuan cantik yang jika bicara meledak-ledak tapi sering bikin blunder dalam pernyataannya. Semisal dalam kasus kicauannya pada Fadli Zon tetapi diembeli menghantam Vladimir Putin yang dikatakannya seorang diktator.

Lalu ada Giring Ganesha, vokalis grup band Nidji yang membuat vlog menolak poligami yang viral di media sosial. Ini berawal dari pernyataan Ketua Umumnya, Grace Natalie, di Surabaya 11 Desember 2018, yang menyerang poligami. Dia menyatakan poligami adalah sumber ketidakadilan bagi perempuan.

Tampaknya ini satu langkah terstruktur yang menghadap-hadapkan partainya dengan kebolehan dan kehalalan poligami dalam Islam. Dan Giring menyuarakannya, meski beragama Islam, saya menilai dia tidak memahami agamanya dengan baik.

Sepertinya anak-anak muda yang tergabung dalam PSI ini tidak memahami atau mengabaikan sejarah pendiri bangsa Ir Sukarno, yang melakukan poligami dengan Fatmawati. Padahal beliau saat itu masih beristrikan Inggit Garnasih. Jadi kelahiran anak-anak Sukarno: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh itu adalah hasil perkawinan poligami.

Mestinya masalah sensitif produk hukum agama (Islam) tidak menjadi persoalan yang diangkat PSI sebagai partai yang mengusung keberagaman. Dan tampak tidak peka akan sejarah kehidupan pribadi tokoh bangsa, Sukarno. Perlu diingat, saat bersama Fatmawati pun, Sukarno melakukan perkawinan dengan Hartini. Dengan Hartini, lahirlah Bayu dan Taufan. Selanjutnya Sukarno menikahi perempuan asal Jepang, Naoko Nemoto, yang lalu berubah nama Ratna Sari Dewi. Dari pernikahan ini lahir anak perempuan semata wayang, Kartika Sari Dewi.

Melihat Sukarno dengan sejarah poligami yang demikian, lalu apa anak-anak PSI itu murka, dan karenanya tidak menghormatinya sebagai bapak bangsa? Yang dilakukan Sukarno adalah perbuatan halal menurut agamanya (Islam), apa salahnya? Lalu apa salahnya dengan seseorang yang berpoligami, jika dia memang layak melakukan dengan alasan-alasan tertentu.

Mengapa anak-anak muda di PSI ini “usil” dengan masalah yang menyangkut privasi seseorang. Tampak tidak mampu mengungkap isu-isu besar yang sebenarnya dibutuhkan bangsa. Misal pendidikan informal anak putus sekolah, bahaya narkoba, tentang pendidikan kebangsaan dan makna mengisi kemerdekaan. Masih banyak hal lain lagi yang bisa digarap yang bersentuhan dengan masalah-masalah yang menyangkut generasi muda.

Namun sayang anak-anak muda ini memilih isu hal-hal “orang dewasa” dan nyinyir pada masalah yang menyangkut produk hukum agama. Ucapan Grace Natalie yang berapi-api, mengatakan jika PSI masuk parlemen maka partai ini akan berupaya mencabut Perda Syariah dan Perda Injil, dan pernyataannya tentang poligami, bisa dimaknai sebagai ungkapan ketidaksukaannya terhadap agama (Islam).

Sayang kita tidak menemukan anak-anak muda cerdas yang membingkai partainya (PSI) ini dengan hal-hal positif. Menggulirkan isu penolakan poligami, tentu berharap partai ini akan mendapat simpati dari kaum hawa, dan itu mustahil bersambut. Sebaliknya hanya direspons Komnas Perempuan, sebuah komisi nasional yang kehadirannya nyaris tidak dirasakan kaum perempuan.

Menjadi pantas jika kiai kharismatis nan lembut asal Madura, KH Cholil Nafis, Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, mengatakan, “Habis kata-kata saya jengkelnya kepada PSI dan Komnas Perempuan itu. Kok yo hanya cari ribut bukan menyelesaikan urusan bangsa ini. Mudah-mudahan PSI tak lolos Pemilu ini dan Komnas Perempuan dibubarkan saja.” Satu pernyataan keras yang tidak biasa keluar dari mulutnya.

Pernyataannya itu wajar, karena PSI tidak menjaga suasana keharmonisan keberagaman yang acap didengung-dengungkannya, dan tidak membangun dialektika berpikir yang cerdas dalam membangun keberagaman, tapi justru mengeluarkan statemen yang menyasar syariat Islam. Satu strategi konyol jika ingin mendulang suara umat Islam.

Kedewasaan tidak diukur dari usia, tapi kedewasaan itu menyangkut pola pikir dan tindakan yang terukur. PSI perlu belajar mengenal diri sendiri dalam komunitasnya yang beragam, lalu me-manage-nya secara baik guna menemukan dan lalu menjajakan ide-ide yang tepat, yang dibutuhkan bangsa ini. Memetakan persoalan itu penting, tetapi mengedepankan adab dalam menyampaikan pikiran-pikiran cerdas tidak mungkin diabaikan.

Sumber: republika.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *